TEMPO.CO, Jakarta - Nita Sellya seperti tidak bisa lepas dari kesemutan pada kaki saban duduk di kursi. Padahal posisi tubuh Nita sudah benar, kakinya tidak ditekuk atau disilangkan. “Tapi, baru duduk sepuluh menit saja, kaki saya sudah kesemutan,” katanya dalam diskusi tentang neuropati di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, pekan lalu. Gejala ini muncul sejak lima tahun lalu.
Jika dibiarkan, lama-lama kaki Nita jadi baal. Namun dia tidak ambil pusing. Sebab, “Biasanya setelah dipijat atau digerakkan, kesemutannya menghilang,” ujarnya, seperti ditulis di Koran Tempo, Rabu, 4 Mei 2016. Blogger asal Bogor ini pun kembali melanjutkan kesibukannya mengetik cerita di komputer.
Nita, 38 tahun, baru menyadari ada yang tak beres dengan sarafnya setelah melakukan pemeriksaan neuropati. Awalnya, dia hanya iseng-iseng. Ternyata kesemutan yang sering dialaminya terjadi karena masalah saraf tepi. Penyebabnya, Nita terlalu sering duduk di depan komputer dan jarang bergerak.
Dokter spesialis saraf, Manfaluthy Hakim, menuturkan masalah saraf tepi atau neuropati memang kerap menghampiri orang yang terlalu sering melakukan aktivitas berulang. Misalnya sering mengetik dengan ponsel, tablet, dan komputer; mengendarai kendaraan bermotor; duduk dalam waktu lama; memakai sepatu berhak tinggi; atau beraktivitas dengan gerakan berulang seperti mencuci dan menyapu.
Neuropati, ucap dia, bisa terjadi di seluruh anggota badan. Gejala awalnya berupa gangguan sensorik seperti kesemutan. Lama-lama menjadi mati rasa, kram, dan kaku-kaku. Jika tidak diatasi, gangguan berlanjut ke saraf motorik, seperti kelemahan anggota gerak, juga kerontokan rambut. Pada tahap lanjut, neuropati menyebabkan terganggunya saraf otonom yang bisa berujung pada impotensi dan kelumpuhan. “Kalau sudah begini, tidak bisa diapa-apakan lagi,” tutur Manfaluthy.
Ada banyak jenis neuropati, yakni neuropati karena penuaan, diabetes, kekurangan vitamin B, dan sebab lain, seperti infeksi atau penjepitan saraf. Menurut dokter spesialis saraf dari Universitas Airlangga, Surabaya, Profesor Mohammad Hasan Machfoed, hampir separuh masyarakat Indonesia menderita neuropati. Hasil riset yang dilakukan perusahaan farmasi, Merck Indonesia, pada 2015 juga menyebutkan 43 persen dari 16.800 responden yang tersebar di kota-kota besar berisiko terkena neuropati.
Sayangnya, kata dia, tak banyak orang paham akan neuropati. Padahal, kalau penderitanya sendiri tidak tahu, dia tidak berusaha mengatasi masalah ini. “Jangan sampai terlambat ditangani, karena akibatnya tidak akan bagus.”
Karena pengetahuan yang kurang, menurut Manfaluthy, kecenderungannya penderita menjadi salah menangani. Misalnya dengan menghentikan aktivitas, membengkokkan atau meluruskan anggota badan yang sakit, dan memberi pijatan atau balsem. Untuk sementara, gejalanya memang bisa hilang, tapi tetap akan kembali lagi jika tidak diatasi dengan benar.
Padahal neuropati sebenarnya bisa dicegah. Gangguan saraf ini bisa dihindari dengan istirahat yang cukup, mengkonsumsi gizi yang seimbang dan vitamin neurotropik, serta berolahraga secara teratur, sehingga suplai darah di saraf tepi terjaga.
Sumber: Tempo.co
EmoticonEmoticon